Selasa, 27 September 2011

HWC Episode Fiksi (Puisi dan Cerpen)


Hai……..

Ini adalah hasil karya teman – teman yang mengikuti HWC ketiga dan keempat. Temanya adalah menulis fiksi. Dibersamai oleh Ayip Miftahudin dan Faidatul Hasanah. 
puisi dan cerpen ini hanya dibuat dalam waktu 45 menit. setelah dibuat, ditentukan masing - masing karya terbaik. karya terbaik dinilai oleh kedua pembicara.
Akhirnya selamat Kepada :
1. Nanda Putri Amalia, dengan  Karya  berjudul "Nol koma satu"
2. Nei Punggawa Desa (evistanoscha chimera) dengan  karya berjudul " Sore yang Sepoi"

Selamat menikmati dan boleh dikoment…….



Cintaku untukmu Saudariku ( Rina Yuliana)

Ya Rabbi…
Bukankah apa yang berasal dari hati akan bermuara dihati?
Lalu mengapa cintaku tak bisa bermuara dihatinya!
Ya Tuhanku…
Sesungguhnya Engkaulah yang maha mengetahui
Bahwa disetiap amarah ada cinta yang mengalir
Bahwa disetiap garis tegas wajah ada kasih sayang yang membuncah
Tetapi mengapa ia tak pula merasakan aliran cintaku…
Ya Allah…
Betapa hati ini ingin dia tahu
Bahwa aku mencintainya kerena-Mu
Aku ingin membuatnya mengenal Mu
Agar ia bisa merasakan aliran cintaMu
Ya Rahman…
Sungguh engkaulah yang memiliki hatiku dan hatinya
Engkau pula yang menumbuhkan cinta dihatiku untuknya
Kini, ku titipkan salam hangat cintaku untuknya
Lewat tetesan embun pagi, disetiap pagi yang engkau anugrahkan untuknnya
Ya Rahiim
Lewat angin yang lembut membelai hati pemujaMu
Aku katakana……
Saudariku, aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku



Setan keterpurukan (Musyafa)

Perjalanan kotorku dimulai
Bukan karena paksaan
Belunggi diri kian memuncak
Aku terlahir cacat dijiwa

Sulit ku ungkapkan
Beban pikiranku
Nafsu terbelenggu angan
Penjara batin

Setan diri ini
Rasuki jiwa
Nodai pikir
Berakhir sebagai
Pasukan jiwa terbelakang



Malam (Uswatun Khasanah)

Saat pekatnya malam menyelimuti bumi
Saat bulan dan bintang bersanding
Untuk terangi indahnya malam
Ku merasa sepi sendiri
Hanya aku dan Engkau disini

Inginku lupakan semua yang ada dihati
Inginku ceritakan semua yang ku alami hari ini
Inginku selalu berbagi denganMu



Wajah negeriku (Budi Santoso)

Dahulu ……
Pesonamu bak surge yang menakjubkan
Tak ada yang mengenal kesengsaraan
Semua suka rukun dan damai
Alam menghijau, laut biru membentang
Dan pulau – pulau terlihat asri

Kini..
Wajah negeriku sedang muram
Riwayatku kesulitan mencari sesuap nasi
Dimana – mana mencuat konflik
Dan alamku tak lagi bersahabat
Gundah……..

Itulah yang kini dirasakan ibu pertiwi
Melihat wajah negeriku.



Kau sahabatku (Anis Senja A)

Bagaimana kau tahu
Ketika cerita itu tak kau urai
Bagaimana ku tenang
Ketika suara itu tak kudengar
Ketika tawa itu kini hilang
Ketika canda itu tak lagi berkembang

Sungguh…
 Untuk selalu ada dalam suka dukamu
Dan mencoba
Mencoba untuk terus menghadirkan senyum

Sahabatku,
Apa yang kau rasa saat kau lara
Tak seharusnya kau simpan
Aku….aku…aku
Untuk selalu ada dalam suka dukamu
Untuk bersamamu
Kau, sahabatku……….^ ^



Susahnya membuat puisi (Saadah Nur'aini)

Detik berganti detik
Menit berganti menit
Suasana hening hanya semilir angin yang kurasa
Semua kepala merunduk memandang selambar kertas kosong
Dengan pena ditangan kanannya
Tangan tangan meraka mulai menari dengan lihainya
Tapi tanganku bagai terbuat dari besi
Tak mampu bergerak apalagi menghias kertas kosong itu
Kini hanya hati dan pikiranku yang melukis dikertas itu
Tak ada yang bisa membaca lukisanku
Karena hanya hati dan pikiranku yang tahu.



Matahari (Nita Dewi R)

Sesosok matahari tersenyum padaku
Senyuman penuh makna
Senyuman tanda kebahagiaan
Senyuman yang tiada tandingannya

Tanpa senyumannya
Dunia takkan hidup
Tanpa senyumannya
Kiamatlah alam semesta ini

Meskipun banyak yang mengeluh karenanya
Dan senantiasa tersenyum
Disaat ia sembunyi sejenak
Semua merindukannya

Matahari
Kau sumber kehidupan
Tanpamu kami resah
Tanpamu kami gundah

Matahariku
Kau sumber inspirasi kami



(Untitled : Chairunnisa Z)

Saat itu,
Ketika kau mulai menyapaku
Dengan keikhalasan caraMu
Mengalihkan duniaku
Yang sempat hening tanpaMu

dariMu
kuberanjak menyongsong hari
hari yang seakan – akan terbatas
terbatas olehMu
dengan kekuatan Maha Dasyat-Mu



Indahnya sebuah penantian (Rizki Lazuardi)

memang benar kiasan ini
semua akan indah pada waktunya
tanpa kita pungkiri
manusia hanya sebatas doa dan usaha
“scenario terbaik” sudah dibentuknya
Oleh rabb yang maha sempurna

Bersyukur
Itulah kata kunci
Untuk menikmati hidup ini
Menuju kehidupan yang abadi
Di SurgaNya nanti



Nol Koma Satu ( Nanda Putri Amalia)

Aku bilangan tak sempurna
0.9, itulah aku
Bagai determinan kurang dari nol
Semua tak terasa nyata bagiku

Sampai aku menemukannya
0.1, itulah dia
Bagai menemukan akar – akar persamaanku
Membuat segalanya menjadi rasional

Dia, 0.1
Yang memenuhi volume hatiku
Membuatku menjadi 1
Menyempurnakanku. 



Kumpulan Mimpi (Evistanoscha Chimera )

Aku berpena untuk membuatmu tak mengerti
Karena aku berpena agar dahimu berkerut
Agar dapat memahami, bukan sekedar mengerti
Goresanku, bukan berupa puisi
Hanya sekedar kumpulan mimpi
Bila terangkai termotivasi
Sanggupkah?
Aku berpena untuk membuatmu lari
Menyelami isi hatiku selama ini.



Sore yang sepoi (Evistanoscha Chimera)

Husshh…… angin sore meniup sepoi tubuhku. Tersenyum aku menatap anak – anak berlarian dan berkejaran dengan penuh tawa. Tertawa aku melihat kakek – kakek menuntun istrinya jalan – jalan mengelilingi taman ini. Dan terharu aku mendengar janji suci sepasang kekasih yang sedang merasakan cinta..
Husshh……. angin sore menyadarkan aku dari lamunan. Dan menghantarkan pandanganku pda gadis kecil berrambut panjang dan berjalan lesu kearahku.
Ingin rasanya aku menghiburnya, namun apa daya aku hanya bisa membisu ketika gadis kecil itu bersandar ditubuhku.
“aku bingung” ujar gadis kecil itu. Aku menunggu dia menuruskan kata – katanya, namun ia justru hanya diam dan terisak. Seolah waktu berhenti dan dunia ini hanya terisi diriku dengan gadis kecil bersandar padaku. Tak ada tawa anak – anak, tak ada ungkapan penuh cinta. Hening……..
“aku bingung. Aku harus memilih mana? Ikut papa atau ikut mama? Kalau ikut papa, nanti aku punya mama tiri. Kata temen – temenku, mama tiri itu jahat. Kalau ikut mama, nanti aku pasti diajak pindah kedesa. Aku kan tidak ingin kehilangan teman – temanku disini. Salah mama dan papa sih, pake cerai segala. Aku disuruh milih ikut siapa pula. Aku kan jadi bingung” ungkap gadisi itu, entah pada siapa. Aku meresapi apa yang dialaminya.
“enak ya jadi pohon. Tidak perlu pusing memikirkan hidup. Semua sudah disiapin Tuhan” lanjutnya seraya pergi meninggalkanku seiring terdengar kembali keriuhan taman kota sore hari ini.
Husshh… angin sore meniup sepoi, mengantarkan matahari ditelan bukit. Taman kota mulai sepi. Kini tinggal aku sendiri. jadi pohon tidak selamanya menyenangkan. Seperti sekarang, aku disini sendiri. sebagai pohon ditaman kota ini. Tapi aku bersyukur sebab tiap hari, disore yang sepoi selalu ada yang bercerita kepadaku.



Untitled (Hanif Amanati)


Pagi belum sempurna. Sinar hangat matahari belum mampu menembus kaca kamar laki – laki itu. Bukan. Bukan karena terhalang bangunan di sekitar rumahnya, tapi memang langit masih gelap karena siluet merah itu belum juga Nampak.
Jam antik berbentuk piringan hitam yang tergantung disisi kanan ruangan ini belum tepat menunjukan pukul 4. Alarm yang disetting dari ponselnya pun berkoar seperti biasa. Lelaki itu menggeliat enggan di atas kasur empuknya lantas menyibakkan bed cover bergambar salah satu klup sepak bola andalanya yang masih membungkus tubuhnya.
Gabriel, begitu orang memanggilnya. Dia membuka matanya dan melihat lamat – lamat langit kamarnya. Menerawang.



Si ulat dan si cacing (Tinuk suparyatun)

Pada zaman dahulu kala terdapat seekor ulat dan seekor cacing. Meraka sangat berteman baik dan saling mengasihi. Saat si ulat kekurangan bahan pangan, si cacing membantu mencarikannya.
Dan pada suatu hari ada seekor burung camar yang tersesat dhutan. Si ulat pun melihat burung itu dan keburu lari. Dan si ulat berpapasan dengan si cacing.
Cacing berkata, “ Loh, ada apa ulat koq terburu – buru?”
“ Di dalam hutan ada burung, aku takut, jika aku mendekat nanti aku dimakan lagi” kata si Ulat
“oh gitu, kalo boleh tahu dimana burungnya?”kata cacing
“kamu jangan dekat – dekat deh, nanti kamu juga dimakan” kata si ulat
Dan cacing pun mendekati burung itu dengan nekat. Pada akhirnya si ulat pun ikut.
“hey, kamu kesini” kata burung camar
“hah, dia tahu keberadaan kita, bagaimana ini?”si ulat panic
“santai aja, ayo kesana, kalo saja dia butuh bantuan” sic acing menenangkan
“lihat saja sayap burung camar itu, patah. Jadi tidak mungkin dimakannya. Dan juga burung itu sangat asing untuk kita. Mungkin burung itu makan sebangsa kita?”
“kau takut” si ulat ketakutan
Lalu sic acing menggeret si ulat untuk lebih dekat keburung camar itu. “kamu kenapa?, kamu bukan dari sini ya?”
“iya, aku tersesat”
“kamu terluka, sini aku obtain”
Lalu sicacing mengobati dengan tanah yang dicampuri daun kecubung.  Dan si ulat juga membantunya.
Dan akhirnya si camar pun pergi tak lupa mengucapkan terimakasih kepada si ulat dan sic acing. Ulat juga sangat terharu sekali dapat berbicara dengan burung.


Untitled (Suprihatin)

Tanganku seketika bergerak berayun mengalun lincah seiring gendang yang ditabuh disisiku. Aku tak peduli lagi lelah, letih, dan peluh yang membanjiri ragaku. Yang ada dalam benakku hanya menghibur puluhan pasang mata yang ada dihadapanku ini.
Setiap ujung mata itu mengawasi segala gerak tubuhku. Aku tak boleh kalah dari letih. Aku tak boleh kalah dari mereka. Mereka yang selalu memandang rendah pekerjaanku, mereka yang mengolok anakku karena ibunya penari, dan ayahnya seorang penabuh gendang.
Aku tetap bergerak, berusaha mengikuti alunan gendang yang ditabuh suamiku. Walau kaki ini sudah meronta ingin diistirahatkan, namun tatapan sayu di sudut mata suamiku membangkitkan lagi semangatku.
            Ku lihat penunjuk waktu
Ya, tinggal 5 detik lagi. Mata para penonton sudah tak sabar untuk mengakhiri tarianku.
5…..4….3….2…..1
Waktuku habis. Penonton tadi, orang – orang yang telah ku hibur dengan sisa – sisa tenaga, membunyikan klakson. Tak sabar aku pun menepi.
Suami ku memandang iba dan tidak ada sepeserpun uang dikalengku, lenyap, seiring para pengguna jalan itu meninggalkan rambu – rambu, tempatku mengais rezeki.



Pertengkaran negeri awan (M. Julkarnain)

Angin berhembus disemenanjung negeri awan, tiba – tiba terdengar suara gaduh dari bangunan megah dinegeri itu. “Ah………..! pergi saja kau, biar lengkap sudah kekalahanku”
Hening, hening, dan hening. Suasana menjadi hening setelah kalimat itu keluar dari bibir sang pangeran. Dia Peter Crouch, sang pangeran dinegeri awan.
Negeri yang baru saja mengalami kekalahan besar yang mengakibatkan semua pasukannya ditawan dan penghuni istana pun pergi meninggalkannya. Yang tersisa tinggallah pangeran dan seorang putrid, putri Belladonna.
Sang pangeran teramat amat sedih karena semua orang meninggalkannya, bahkan bahkan penasehat yang setia juga turut pergi terlebih sang putrid yang dianggap terlalu membebaninya.
Sang putrid memberanikan diri menjawab kata – kata sang pangeran, “tidakkah kau menghargai kesetianku selama ini, tak sedikitpun pengorbananku kau ingat? Dan sampai sekarang pun aku masih setia disisimu.”
.
.
..
.
Putri pergi
.
.
.
.
Pangeran sangat menyesal
.
.
.
Negeri runtuh.

Untitled (Seto Marsudi)

“Jarot! Cepetan berangkat!” gelegar emaknya dipagi hari telah membangunkan jarot dari lamunannya. Aneh sekali, ia pikir. Sudah beberapa hari ini lamunanya sama, lamunan yang selalu menyergapnya ketika ia sedang diam, ia melamun dan membayangkan dirinya bersekolah. “lu mau mak lempar pake wajan? Cepetan cari duwit” kali ini emaknya benar – benar serius. Secepat kilat jarot ambil peralatan ngemennya-alat kecrekan dari tutup botol bekas-dan segera melesat kelampu merah tempat ia bekerja.
Jarot adalah salah satu dari jutaan anak Indonesia yang kurang beruntung. Disaat anak – anak seusinya sedang astik – asyiknya bersekolah, jarot sudah harus menghidupi dirinya, emaknya, dan kedua adiknya. Disaat anak – anak disekitarnya telah mengenal FB,Twitter dan hal – hal modern lainnya, jarot masih berpeluh – peluh menuai rupiah diperempatan jalan dan lampu merah terdekat. Tidak jarang ancaman preman dan satpol PP menjadi momok yang menakutkan baginya. Jarot adalah potret bangsa yang tidak dimunculkan kepermukaan. Tak akan pernah ada orang yang mau menengok keadaannya dan mengulurkan bantuan. Setidaknnya itu yang diajarkan emaknya selama bertahun – tahun.
Pagi ini jarot kembali melewati pemukiman orang – orang kaya. Orang – orang yang tidak akan sudi memakan singkong sebagai menu sarapan mereka. Dipemukinan tersebut terletak sekolah yang sangat megah. Mereka yang bersekolah disana adalah anak- anak yang berperawakan bersih dan terawat. “SEKOLAH HARAPAN BANGSA” begitu yang terpampang didepan pagarnya, lengkap dengan spanduk berderetkan prestasi sekolah tersebut dengan berbagai penghargaan di bermacam ajang yang bahkan jarot belum bisa membacanya. Ia selalu menatap lama bangunan sekolah ini. Ia merasa iri, ingin rasanya ia mendapatkan permata – permata ilmu yang diimpikannya. Tapi itu hanya sejenak sebelum ia diusir satpam yang berkata “heh gembel, pergi sana!”
“empat mata bicara padamu tuk katakan aku cinta kamu”, lagu yang sama telah ia nyanyikan hinggga siang ini. Bukan karena suaranya tidak bagus, tetapi karena jarot tidak hapal lagu lainya. Lagu itu diajarkan oleh teman – teman satu anak jalanan yang sama – sama mengamen disana. “Cuma dapet 8000, aduh” guman jarot. Bisa bilang apa dia keemaknya nanti. Kembali ia melamun tentang dirinya yang bersekolah.
Lamunanya terusik oleh teriakan teman – temannya “satpol PP datang, kabuurrrrrrr!!” dengan tergopoh – gopoh ia kemas uang – uangnya dan peralatannya dan segera melesat kabur dari kejaran satpol PP. “gembel! Berhenti lu” teriak satpol yang mengejarnya. Hari ini ia kurang beruntung. Ia terseok – seok masuk sawah dan tercebur kesungai kotor. “mereka gak akan menemukanku disini” ujar jarot. Ia pun menunggu hingga petang tiba disana.
Saat ia yakin bahwa sudah aman, ia pulang. Uang – uangnya basah semua, badannya kotor dan bau apek. Ditengah perjalanan ia kembali melewati sekolah harapan bangsa. Impiannya segera lenyap. Mungkinkah orang sepertiku bisa merasakan nikmatnya ilmu? Tanya jarot dalam hati dan pagar – pagar sekolah harapan bangsa terlihat semakin jauh baginya.



Cerita palsu ( Wahyu RA)

Seto membuka pagi dengan setemgah hati. Matanya enggan membuka. Dipanjangkannya tangannya mencari kacamata di atas rak buku. Setelah kacamata itu terpasang, ia mulai mencari – cari letak letak jarum – jarum weker dimeja belajarnya.
Sekejap ia terdiam. Secepat kilat ia terduduk. Melihat sekali lagi ke arah jam. Jarum – jarum menunjukkan 06.30. dia pun menepuk jidatnya.
“gawat” matanya menajam. Otaknya berfikir cepat. Pikirannya sibuk dengan stategi – strategi. Ia menyesal melupakan tekadnya menyelesaikan tugas semalam.
Tugas geometri itu harus dikumpulkan hari ini. Ia membayangkan wajah bu Atin yang marah apabila tidak mengumpulkan tugas. Terbayang dirinya terpajang dikelas dengan omelan – omelan yang tidak ada habisnya.
“Aw” ia tersandung kaki meja sewaktu hendak mandi. Semua persiapan kekampus dilakukan 2x lebih cepat, makan, mandi, berdandan, naik motor, dan lain – lain.
Pikirannya sibuk dengan cara – cara agar bu atin tidak marah. Mulai dari organisai. Ia bisa meminta keringanan bu Hima karena ia sibuk mempersiapkan seminar. Oh bukan! Bu Atin tentu semakin marah karena tidak bisa membedakan urusan kampus dengan organisasi. Ia makan dengan tidak tenang memikirkan cara lainnya. bagaiman kalo aku pura – puran sakit perut. Jadi gak sempat mengerjakan tugas. Tapi bagaimana bila Bu Atin menanyakan surat keterangan dokter.
“Astagfirullah” hampir saja motornya menabrak tukang sapu dijalan. Akhirnya ia pergi kekampus tanpa alasan apa – apa. Dengan pasrah ia mengetuk pintu karena kuliah telah dimulai. Akhirnya ia berkata dengan tenang bahwa ia khilaf tidak mengerjakan tugas. Ia bermain PES semalaman dan tertidur hingga kesiangan. Baru kali ini tersadar kejujuran adalah bahasa yang paling mudah. Menjabat akar – akar prasangka dan mendamaikannya.



Untitled (Indah Septia  Dewi)


Kehidupan yang penuh ketidakpastian. Meraka tidak akan pernah tahu betapa beratnya menjadi aku. Meraka yang hanya mengandalkan hasil kerja keras orang tuanya tidak akan pernah mengerti bagaimana menjadi aku. Mereka tidak akan pernah mengerti betapa kejamnya dan tidak adilnya perlakuan mereka padaku. Meraka menipu untuk mendapatkan apa yang meraka inginkan dengan mudah.
“tettttt tetttttt gojez gojez” “priiiiiiiiit” terdengar suara peluit yang ditiup ketika kereta tiba “ pak Koran pak! korannya bu” terdengar suara gadis remaja yang menjajakan dagangannya. Gadis itu diam sesaat, dia melihat temannya dan mendekatinya.
“hai, kau tak jualan Koran hari ini?”
“oh, kau Rin, aku sedang memperhatikan orang – orang berdasi itu. Itu! Kau lihat lelaki muda yang memakai kemeja warna hijau”
“ya aku melihatnya, kau kenal?”
“pria itu sedang jatuh cinta, kau lihat binary dimatanya?”
“oh darimana kau tahu? Kamu mengenalnya?”
“tidak, aku tidak mengenalnya. Aku tahu dari matanya”
Rika hanya manggut – manggut.
“ah, kau lihat bapak – bapak yang berdasi itu?”
“apa yang kau lihat dari dia?”
“dia sedang ada masalah dengan istrinya”
“sebaiknya hentikan sekarang, ayo kita cari uang untuk makan”
“uang? Apa semua harus dinilai dengan uang? Ah kau benar. Uang. Kita memang perlu uang. Dengan uang kita dapat prestise. Dengan uang kita baru bisa dianggap”.
Hening. Diruangan gelap yang hanya diterangi sebatang lilin yang terombang – ambing angin, terlihat bayangan – bayangan hitam besar terpantul ditembok.
“PRANGG” terdengar suara kaca pecah.
Plak. Bayangan itu mengisyaratkan………….. (Continue).

2 komentar: